Satur Nagur: Permainan Catur Peninggalan Kerajaan Nagur Simalungun

 

Sejarah Permainan Catur – Permainan ini dimulai akibat kesalahan fatal yang terjadi di tanah Hindustan sekitar abad ke-6. Dua anak raja sedang berebut tahtah Hindu, namun perebutannya dilakukan dengan cara saling bunuh.

Sang permaisuri meminta agar pertarungan fatal tersebut segera dihentikan, namun tidak berhasil. Akhirnya, satu diantara anaknya mati mengenaskan dan Ia tidak dapat memafkan perbuatan anak satunya lagi meskipun kemenangannya.

Kesedihan sang permaisuri membuat ia memanggil orang-orang bijaksana untuk dimintai saran, bagaimana agar kesedihannya bisa berkurang. Akhirnya dibuatlah model-model seperti pasukan dalam sebuah peperangan.

Raja, ratu, menteri/gajah, pejuang/kuda, kastil/benteng, dan pion yang digerakka di atas papan kotak-kotak hitam dan putih. Permainan ini adalah upaya menjelaskan kesalahan strategi dan taktik dari anak yang mati terbunuh.

Satur Nagur Simalungun

Satur Nagur ini sudah terdifirensiasi dari sana-nya, yaitu dari segi buah-buah catur yang berukuran raksasa dan bidang permainan yang seluas tenis lapangan.

Kemudian gerak-gerik “anak gawang” (dulu budak) ketika mengangkat dan memindahkan buah-buah catur itu menjadi pemandangan tersendiri pula. Juga keriuhan para penonton di pinggir lapangan dan bisik-bisik “Guru Bolon” di telinga raja.

Yang unik dari sini adalah buah caturnya yang berukuran raksasa (Simalungun: “bolon”) dan lapangannya yang sangat luas, dimana buah catur digotong para budak saking besarnya.

Pemain (para raja) duduk di tempat yang relatif tinggi seperti kursi juri bulutangkis, agar bisa melihat jelas posisi buah-buah catur.

Dengan setengah berteriak, raja mengomandoi budaknya untuk memindahkan buah-buah catur seturut strategi atau taktik dan varian serangan yang ada di benaknya.

Para penonton berdiri di sisi lapangan seperti menonton pertandingan tenis lapangan, bulutangkis, atau bolavoli, sambil memberikan komentar setengah suara.

Penasihat raja (“Guru Bolon”) asyik membisikkan sesuatu ketika sang raja butuh nasihatnya untuk segera bisa mematikan langkah catur lawan dan sebaliknya melakukan serangan mematikan.

Sejarah Satur Nagur Simalungun

J Tideman, Asisten Residen Afdeling Simalungun dan Tanah Karo tahun 1919-1922, dalam laporannya “Simeloengoen, Tanah Batak Timur dalam Keterasingan dan Perkembangannya menjadi Bagian dari Daerah Perkebunan Pantai Timur Sumatera” (terjemahan, 2012) mencatat:

Orang masih menunjukkan sebuah batu pada Bah Bolak di Tanah Jawa di mana raja Batangio biasa bermain catur dengan Tuan Syahkuda Bolak. Dengan melihat peninggalannya, sisa papan catur ini masih bisa dilihat.

Juga di daerah Buttu Parsaturan (percaturan) di aliran kanan sungai Bah Sawa (daerah Panei), arus hulu dari kampung Panei, sebuah patung batu dalam sikap duduk (patung itu kini berada di Balai Pengadilan, Pematangsiantar) dan beberapa batu lain tanpa bentuk jelas, yang menjadi sisa dari permainan catur, diletakkan di tempat itu agar supaya para raja Nagur dan Batangio bisa bermain catur.

Para budak yang diperlukan diberi tugas untuk memindahkan potongan-potongan buah catur itu. Patung ini adalah Tuan (raja) sementara orang bisa menunjuk batu lain yang lebih menyerupai lesung padi sebagai timpa (kastil), potongan lain disebut sitori atau ratu, gajah atau menteri, huda atau kuda, dan bidak atau pion”.

Posting Komentar

0 Komentar