Padan dan Namarpadan dalam Budaya Batak


Padan dalam masyarakat Batak, berlaku hukum “Aha didok, ikkon ido diulahon (apa yang dikatakan, harus itu yang dilakukan)”. Padan diucapkan dengan bersaksi kepada Tuhan (Debata) atau kepada sesuatu yang dianggap suci.

Mengucapkan padan harus disertai tekad melakukan sesuatu guna menguatkan kebenarannya atau berani menderita jika suatu saat pernyataan itu tidak benar. Dengan kata lain, padan yang diucapkan manusia menggambarkan eksistensi manusia itu sendiri.

Para keturunan dan generasi penerus Batak seperti Judika Sitohang, Elina Joerg Lubis, dan Anggi Marito Simanjuntak, dan termasuk kita semua masyarakat Batak tentu harus mengikuti petuah para pendahulu kita. Lantas, mengapa terjadi padan? Berikut penjelasannya!

Mengapa Terjadi Padan?

Masing-masing padan memiliki riwayat tersendiri, ada yang karena perselisihan atau sengketa harta dan tanah (khususnya di jaman dulu sangat sering terjadi perang antar marga dengan marga, huta dengan huta, demi memperebutkan kekuasaan), pertukaran anak (misalnya Marga A semua keturunannya hanya laki-laki, sementara Marga B semua keturunannya hanya perempuan.

Padan juga memiliki masa berlaku, ada yang berlaku hanya sementara saja dan ada juga yang berlaku seumur hidup. Selain itu, ada juga yang diwariskan/dipesankan kepada seluruh keturunan-keturunannya. Terdapat sanksi jika melanggar padan, seperti terkena kutuk/musibah, hingga diusir dari kampong dan tak diperbolehkan mengikuti adat istiadat.

Namarpadan dalam Hubungan Marga

Awalnya padan terjadi antara satu keluarga dengan keluarga lainnya atau antara kelompok keluarga dengan kelompok keluarga lainnya yang memiliki marga berbeda. Mereka berikrar akan memegang teguh janji tersebut hingga nantinya akhir hidupnya dan memesankan kepada keturunannya masing-masing agar tetap di ingat, dipatuhi, dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh.

Konsekuensinya ialah bahwa setiap pihak yang berikrar wajib menganggap keturunan (putra dan putri) dari teman ikrarnya sebagai putra putrinya sendiri. Terkadang ikatan kekeluargaan karena padan justru terjalin lebih erat daripada ikatan kekeluargaan karena marga.

Melansir dari batakpedia.org, dalam beberapa padan bahkan berlaku ketentuan hukum “padan ni hahana, padan ni angina; jala padan ni angina, padan ni hahana” (ikrar kakanda juga ikrar adinda dan ikrar adinda juga ikrar kakanda), yang artinya “sisada hata“. Misalnya Sihotang dengan Naipospos (Marbun), Siregar dengan Nainggolan (Parhusip).

Berikut ini adalah beberapa Marga namarpadan, di antaranya:

  • Panjaitan & Sinambela
  • Panjaitan & Simanullang
  • Panjaitan & Sibuea
  • Hutabarat & Silaban Sitio
  • Sitorus & Hutajulu (termasuk Hutahaean, Aruan)
  • Sitorus Pane & Nababan
  • Naibaho & Lumbantoruan
  • Silalahi & Tampubolon
  • Sihotang & Naipospos( Marbun; termasuk Lumbanbatu, Lumbangaol, Banjarnahor)
  • Manalu & Banjarnahor
  • Simanungkalit & Banjarnahor
  • Simamora Debataraja & Manurung
  • Simamora Debataraja & Lumbangaol
  • Nainggolan (Parhusip) & Siregar
  • Tampubolon & Sitompul
  • Pangaribuan & Hutapea
  • Purba & Lumbanbatu
  • Pasaribu & Damanik
  • Sinaga Bonor Suhutnihuta & Situmorang Suhutnihuta
  • Sinaga Bonor Suhutnihuta & Pandeangan Suhutnihuta

Demikian penjelasan tentang padan dan namarpadan dalam budaya batak. Selamat membaca dan semoga bermanfaat!

Posting Komentar

0 Komentar